Dampak Buruk Ekspansi Lahan Kelapa Sawit dan Solusinya Dalam Islam
![]() |
sumber gambar : sawitindonesia.com |
Pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029, di Jakarta, Senin (30-12-2024), Presiden Parbowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia harus menambah luasan perkebunan kelapa sawit karena produk tersebut bersifat strategis dan dibutuhkan banyak negara.
Presiden mengimbau seluruh pejabat daerah, termasuk kepolisian dan TNI, untuk menjaga kebun-kebun kelapa sawit karena merupakan aset negara yang sangat penting. Berdasarkan hal ini, maka perluasan perkebunan kelapa sawit ini akan terus berlanjut meski harus membabat hutan atau melakukan deforestasi yang dianggapnya tidak berbahaya.
Para pegiat lingkungan melakukan kritik keras terutama terkait konsekuensi deforestasi dan dampak ekspansi kelapa sawit terhadap kerusakan lingkungan. Belum lagi pengaruh sosial ekonomi masyarakat lokal, yakni terampasnya sumber penghidupan yang bergantung pada hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, seperti kayu, obat-obatan, dan bahan makanan. Bertambah berat lagi dengan munculnya masalah konflik lahan antara rakyat dan perusahaan kelapa sawit yang ditopang oleh regulasi dan perundangan yakni UU Cipta Kerja.
Serius
Menurut akademisi Dr. Fatimah Qais, ini adalah permasalahan serius dan kompleks akibat penerapan sistem kapitalisme.
“Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, kuat berorientasi pada keuntungan masif dengan waktu yang cepat sehingga terjadi dilema yang tidak terhindarkan antara mengembangkan perkebunan sawit untuk tujuan ekspor dengan dampak lingkungan,” ungkapnya kepada MNews, Selasa (7-1-2025).
Ia mempertanyakan, meskipun Indonesia
mendapat alokasi dana melalui System for Transparent Allocation of Resources
(STAR) sebesar US$103,65 juta dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menyiapkan dana bantuan US$20—50 ribu, setimpalkah antara dana yang
dikucurkan dengan dampak kerusakan serius yang ditimbulkan?
“Pihak luar negeri sengaja nyaring menyuarakan bantuannya, tetapi sebenarnya tidak pernah sepadan dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan,” kritiknya.
Bahkan, ia menyebutkan ada berita terbaru bahwa Eropa akan membatasi produk kelapa sawit Indonesia melalui European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang berisi seperangkat aturan yang bertujuan untuk mencegah impor dan ekspor produk yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan.
“Jadi, sejatinya yang terjadi di negeri kaya sumber daya alam ini ibarat “sudah jatuh, tertimpa tangga”. Mengapa? Hutan Indonesia diklaim sebagai barier atas dampak pemanasan global. Namun, jika kita cermati, sebenarnya, siapa aktor utama pemanasan global? Tiada lain adalah negara-negara kapitalis dengan industri raksasanya yang memproduksi barang secara masif dan besar-besaran,” ulasnya.
Ini tidak hanya industri sehari-hari, lanjutnya, tetapi industri berat, termasuk senjata militer, perang, dan nuklir.
“Sungguh tidak adil jika hutan-hutan
tropis yang kemudian dijadikan tumbal untuk meredamnya. Kapitalis memosisikan
negeri-negeri yang kaya hutan menjadi serba sulit. Lebih-lebih jika mencermati
reaksi yang diberikan oleh Presiden Prabowo yang tidak ambil pusing dengan regulasi
EUDR tersebut karena menurutnya, pembatasan itu yang akan membuat berbagai
industri di sana menjadi kesulitan,” sesalnya.
Mengkaji Konsep Islam
Ia menilai, dengan dampak serius yang ditimbulkan akibat digenjotnya perluasan lahan kelapa sawit yang telah menggerogoti lahan hutan terhadap lingkungan, selayaknya para intelektual muslim mengkaji konsep Islam dalam mengelola sumber daya alam, termasuk sektor perkebunan kelapa sawit.
“Sesungguhnya Allah Swt. telah menciptakan
bumi seisinya untuk dikelola manusia sesuai dengan syariat Allah agar meraih
kesejahteraan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Mengembangkan perkebunan,
termasuk kelapa sawit diperbolehkan, tetapi harus memperhatikan daya dukung
lingkungan dan kebutuhan masyarakat,” jelasnya.
Di sisi lain, tuturnya, kemandirian dan ketaktergantungan terhadap asing, juga merupakan hal kunci agar pengelolaan perkebunan kelapa sawit tidak didominasi oleh kepentingan para kapitalis dan mengorbankan rakyat sendiri.
Bahkan, urainya, sistem Islam mengatur bahwa hutan produksi termasuk dalam kepemilikan umum yang tujuannya digunakan untuk hajat hidup orang banyak.
“Sedangkan, hutan lindung dan suaka alam
yang merupakan wilayah konservasi menjadi kepemilikan negara yang terlarang
bagi siapa pun untuk mengambil manfaat darinya. Negara harus melindungi
kelestarian tumbuhan, hewan, sumber air, dan ekosistem yang ada,” ucapnya.
Dalam kaitannya dengan kebutuhan rakyat, ia menerangkan, sistem Islam yang berorientasi mengurus rakyat akan mengembangkan produk turunan kelapa sawit dan diprioritaskan sesuai kebutuhan masyarakat. Jadi, lanjutnya, kebutuhan dasar seperti minyak goreng dijamin tercukupi, bukannya malah memenuhi ekspor CPO untuk asing.
“Dengan demikian, problem peruntukan dan
ekspansi hutan menjadi kebun sawit yang terjadi saat ini hanya dapat
diselesaikan dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna,” pungkasnya. (muslimahnews.com)
Post a Comment