Deforestasi, Buah Sistem Kapitalisme
Oleh: Tasudin M Wangsa
Pada kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang diselenggarakan Senin (30/12/2024) di Jakarta, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyatakan bahwa tidak perlu takut deforestasi dalam rangka ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit. “Saya kira ke depan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit, tidak usah takut katanya membahayakan (karena menyebabkan) deforestasi. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Ya dia menyerap karbon dioksida, darimana kita dituduh, yang mboten-mboten aja orang-orang itu,” ungkap Prabowo.
Prabowo pun akan mencetak 1 juta hektare sawah di Merauke, Papua Selatan. Rencana tersebut disampaikan oleh Kepala Satgas Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian, Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani sewaktu berkunjung ke Desa Wanam, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, pada Minggu (03/01/2024) menemani Prabowo meninjau langsung pengembangan program pertanian berkelanjutan. (bisnis/03/11/2024)
Rencana terbesar Prabowo adalah membabat hutan seluas 20 juta hektare untuk proyek ketahanan pangan dan energi sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai rapat terbatas di kompleks istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (30/12/2024). (cnnindonesia/04/01/2025)
Pro Kontra
Sontak saja rencana Prabowo tersebut menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengapresiasi rencana kebijakan Prabowo terkait sawit tersebut. Ketua Apkasindo Gulat ME Manurung mengatakan sebanyak 17 juta petani dari Aceh hingga Papua mendukung penuh gagasan Prabowo tersebut. Gulat berargumen bahwa strategi ekstensifikasi kelapa sawit masih sangat terbuka mengingat hutan Indonesia yang masih jauh lebih luas di atas standar minimum (hutan vs non-hutan). (antara/06/01/2025)
Namun sejumlah kritik pun dilontarkan oleh banyak pihak. Misalnya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga pernyataan Prabowo tersebut berkaitan dengan ambisi pemerintah sebagaimana digaungkan sejak kampanye Pilpres 2024 lalu berupa penggencaran produksi biodiesel.
Uli Arta Siagian pengkampanye hutan dan kebun Walhi menyampaikan bahwa hasil sejumlah riset menunjukkan adanya keterkaitan langsung dari perluasan sawit terhadap deforestasi.
Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria mengeklaim bahwa setiap perluasan atau ekspansi sawit selalu muncul konflik. Serikat petani sawit menilai dari sisi bisnis bahwa arah kebijakan ini justru membuat produk sawit Indonesia tak bisa bersaing di pasar global—khususnya Eropa—karena dianggap "tidak berkelanjutan". (bbc/02/01/2025)
M Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyampaikan kritik atas pernyataan Prabowo yang memandang bahwa membabat hutan alam (deforestasi) sama sekali tidak berbahaya. Padahal, dengan kondisi krisis iklim saat ini, deforestasi sangat berbahaya.
Iqbal pun menganggap pernyataan Prabowo tentang pohon kelapa sawit yang memiliki daun juga dapat menyerap karbon dioksida adalah logika yang tidak tepat. Soalnya, menurut Iqbal, kemampuan menyerap emisi antara hutan alam dengan kebun kelapa sawit jelas berbeda. Disamping itu, ungkapnya, ketika hutan dibabat habis, bukan hanya kemampuan penyerapan emisi yang hilang namun juga keseluruhan ekosistem akan bermasalah. (voaindonesia/02/01/2025)
Direktur Sawit Watch Achmad Surambo menyatakan ketidaksepakatannya jika kemampuan pohon sawit dalam menyerap karbon dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan deforestasi demi ekspansi. Sebab, hutan mempunyai keanekaragaman hayati yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menyerap karbon dibanding perkebunan monokultural seperti sawit. Lagi pula berdasar Peraturan Menteri LHK P.23/2021 dan Undang-Undang Cipta kerja, sawit bukanlah tanaman hutan.
Surambo membeberkan hasil risetnya yang mengungkapkan bahwa sawit baru bisa menyerap karbondioksida di wilayah kritis saja, sehingga banjir, bencana ekologis, kebakaran, dan malapetaka lain akan sering terjadi.
Koalisi masyarakat sipil melakukan sebuah kajian dengan hasil yang menunjukkan bahwa sebaiknya lahan sawit dibatasi maksimal 18,15 juta hektare saja demi meminimalisir dampak ekologisnya. Sementara itu luas sawit saat ini sudah mendekati batas. Pada tahun 2022 luas sawit di Kalimantan mencapai 6,68 juta hektare padahal daya dukungnya hanya 6,61 juta hektare, sedangkan di Sumatera mencapai 10,7 juta hektare sementara daya dukungnya hanya 10,69 juta hektare.
Mega proyek "Palm Oil Belt" berupa sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi juga mengancam keberlangsungan hutan. Surambo pun mengingatkan pemerintah, proyek sawit harus memperhatikan daya tampung dan daya dukung.
TreeMap bahkan menghimpun data yang menunjukkan bahwa ekspansi lahan sawit telah melenyapkan hingga ratusan ribu hektar hutan setiap tahunnya selama dua dekade terakhir. (bbc/02/01/2025)
Uli Arta Siagian dari Walhi menyampaikan bahwa beragam riset dan penelitian yang mengaitkan langsung ekspansi kelapa sawit dan deforestasi. Kawasan penting seperti hutan dan gambut pasti terancam oleh perluasan sawit dalam skala besar di Indonesia.
Berikutnya, menurut Uli, luas hutan yang berfungsi menyerap emisi karbon akan berkurang. Sehingga lahan gambut yang terdampak, rentan kebakaran dan justru menghasilkan emisi. Dampak ikutannya misal sungai akan tercemar, mengering, banjir longsor, dan sebagainya. (bbc/02/01/2025)
Secara khusus Walhi merilis siaran pers, bahwa rencana pemerintah berupa proyek 20 juta hektar hutan untuk pangan dan energi akan menjadi legalisasi deforestasi yang memicu kiamat ekologis. Lingkungan dan keselamatan rakyat Indonesia pasti dipertaruhkan. Karena pembukaan 20 juta hektar hutan tersebut akan melepaskan emisi dalam skala yang super besar dan akhirnya menyebabkan bencana ekologis, kekeringan, gagal panen, mendidih global, dan zoonosis. Masyarakat di sekitar kawasan hutan tempat proyek ini beroperasi akan tergusur, sedangkan masyarakat pesisir akan menjadi pengungsi iklim. (walhi/02/01/2024)
Dampak lainnya adalah kerusakan biodiversitas dan konflik agraria. Hal ini tentu diikuti dengan kekerasan dan kriminalisasi akibat pendekatan keamanan untuk memastikan jalannya rencana program ini. Pembukaan 20 juta hektar ini pun niscaya semakin memperparah persoalan kebakaran hutan lahan (karhutla), jika hutan-hutan tersebut juga merupakan kawasan gambut. (walhi/02/01/2024)
BBC Indonesia mempublikasikan liputan investigasi kolaboratif tentang kebun plasma pada Mei 2022 yang menggambarkan konflik antara masyarakat dan perusahaan sawit.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 1.131 konflik agraria di sektor perkebunan. Ini terjadi sepanjang 2015 hingga 2023 dan mayoritas terkait dengan sawit. Berbagai konflik tersebut di antaranya terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang tumpang tindih dengan area kelola masyarakat hingga problem kemitraan plasma sawit yang tidak direalisasikan.
Deforestasi di Indonesia
Deforestasi merupakan penebangan hutan secara liar. Ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu yang berdampak pada bencana ekologi besar bagi Indonesia. Akibat hutan alam asli Indonesia yang terus menyusut secara mengkhawatirkan, saat ini Indonesia hanya memiliki 10% hutan tropis dunia yang tersisa. Ini berarti Indonesia telah mengalami kehilangan 72% dari hutan sesungguhnya.
Berdasarkan data, kerusakan hutan pada tahun 1985 - 1997 terhitung 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada rentang 1997 - 2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Akibat hal tersebut Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasar hasil interpretasi citra Landsat tahun 2000, 101,73 juta hektar hutan Indonesia dalam keadaan rusak. Seluas 59,6 juta hektarnya berada dalam kawasan hutan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Deforestasi_di_Indonesia, diakses pkl. 10.00 WIB, 11/01/2025)
Global Forest Watch merilis bahwa pada tahun 2001 Indonesia memiliki 136 Mha hutan primer yang membentang di atas lebih dari 83% luas tanah Indonesia. Rentang 2001 sampai 2023 tercatat belasan juta hektare hutan primer Indonesia telah hilang. Pada tahun 2023 saja Indonesia kehilangan 1,03 Mha hutan primer. Selain itu Indonesia kehilangan 30,8 juta hektare (Mha) tutupan pohon sejak 2001 hingga 2023.
Penyumbang deforestasi terbesar di Indonesia adalah Hak Penguasaan Hutan (HPH), perkebunan (sawit, karet, dll.), hutan tanaman industri, konversi lahan, ilegal logging, kebakaran hutan, dan program transmigrasi. (https://id.wikipedia.org/wiki/Deforestasi_di_Indonesia, diakses pkl. 10.00 WIB, 11/01/2025)
Siapa Diuntungkan?
Deforestasi di Indonesia sebagian besar adalah akibat dari sistem politik dan ekonomi yang cenderung korup, dan menganggap bahwa sumber daya alam (secara khusus hutan) adalah sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi demi kepentingan politik dan keuntungan pribadi. (https://id.wikipedia.org/wiki/Deforestasi_di_Indonesia, diakses pkl. 10.00 WIB, 11/01/2025)
Walhi dalam siaran persnya juga mengkonfirmasi bahwa narasi pemerintah memastikan swasembada pangan dan energi hanyalah legitimasi untuk menyerahkan lahan secara besar-besaran kepada korporasi dalam rangka bisnis pangan dan energi agar terus membesar dan meluas. Hal ini mengakibatkan tidak pernah ada keadilan bagi rakyat dan lingkungan. (walhi/02/01/2025)
Proyek pembabatan 20 juta hektare untuk lumbung pangan dan energi juga diyakini akan memperburuk ketimpangan kepemilikan lahan antara pihak korporasi dengan masyarakat. (bbcnewsindonesia/08/01/2025)
Greenpeace Internasional memaparkan para taipan yang mendapatkan cuan besar dari deforestasi Papua. Mereka adalah Seung Eun Ho konglomerat kayu dan sawit asal Korea Selatan pemilik Grup Korindo yang membawahi PT Dongin Prabhawa, PT Berkat Cipta Abadi, PT Tunas Sawa Erma, dan PT Papua Agro Lestari. Berikutnya Grup Posco Internasional asal Korea Selatan yang mengendalikan PT Bio Inti Agrindo. Ada Richard Elman, taipan dari Hongkong yang menguasai Noble Grup dan di bawahnya adalah PT Pusaka Agro Makmur.
Selanjutnya Hayel Saeed Group, Ganda, Martua Sitorus, dan keluarga pemilik KPN Corp (Gama), Peter Sondakh, keluarga Selvanathan, Sukanto Tanoto, keluarga Rumengkang, Anthoni Salim (Salim Group), dan Yulius Lim.
Publik pun sudah sangat familiar dengan para pebisnis kayu dan atau kelapa sawit terkaya di Indonesia seperti Prajogo Pangestu, Putera Sampoerna, Murdaya Poo, Winarko Sulistyo, Arini Subianto, Hashim Djojohadikusumo, Martua Sitorus, Ciliandra Fangiono, Susilo Wonowidjojo, Bachtiar Karim, Keluarga Widjaya, Chairul Tanjung, Theodore Rachmat, dan tentu saja Peter Sondakh, Sukanto Tanoto, serta Anthoni Salim. Mereka menumpuk pundi-pundi kekayaan hasil dari penguasaan lahan hutan yang mereka sulap menjadi aset bisnis mereka.
Aset Publik Terlarang Dikuasai Swasta
Dalam Islam, individu terlarang untuk menguasai aset publik seperti hutan. Aset publik adalah harta milik publik atau kepemilikan umum yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah dan hasilnya 100% dikembalikan kepada rakyat. Sehingga tidak boleh ada satu individu atau kelompok pun yang mendapatkan keuntungan sendiri dari harta milik publik. Masyarakatlah secara bersama-sama yang bisa mendapatkan manfaat dari aset publik tersebut.
Al-'Allamah Al-Qadhi Asy-Syeikh Taqiyuddin An-Nabhanni r.h. menjelaskan bahwa kepemilikan umum terdiri dari 3 macam, yaitu: pertama, fasilitas umum yang akan menyebabkan terjadinya sengketa dalam mencarinya jika fasilitas tersebut tidak ada. Kedua, barang tambang yang tidak terbatas. Dan ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu atau perorangan. (Taqiyuddin An-Nabhanni. (2004). Nizham Al-Iqtishadi fi Al-islam, hal. 215. Bogor: Pustaka Fikrul Mustanir)
Kepemilikan umum jenis ini meliputi jalan, sungai, danau, laut, teluk, selat, tanah-tanah umum, hutan, dan sebagainya. Yang bisa disetarakan dengan kepemilikan umum juga adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya. Individu, kelompok ataupun korporasi tidak bisa menguasai harta tersebut.
Buah Sistem Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, siapapun boleh menguasai apapun. Uang menjadi tolok ukur dalam kepemilikan harta. Individu ataupun kelompok yang memiliki modal maka sah untuk menguasai aset publik seperti hutan, sungai, laut, bahkan pulau sekalipun.
Maka tidak heran, dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme seperti Indonesia, para pemilik modal akan memanen keuntungan yang sangat besar dari harta kekayaan publik. Padahal dalam pandangan Islam seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Negara kapitalis telah mencetak pemimpin korup yang berkongsi dengan para pemodal rakus untuk mengeksploitasi kekayaan rakyat demi keuntungan segelintir individu dan kelompok dari kalangan penguasa dan kapitalis.
Nabi Muhammad saw. bersabda: "Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah. Kemudian Allâh mengampuni orang yang bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
Ini tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan islam. Islam mensyaratkan akan keadilan dan ketaqwaan penguasa. Sistem Islam merupakan sistem yang adil karena diturunkan oleh Allah swt. Yang Maha Adil. Dengan menerapkan sistem pemerintahan islam maka akan turun keberkahan dari langit dan bumi dikarenakan sistem ini mampu menciptakan dan menjaga ketaqwaan masyarakat.
Allah swt. berfirman: "Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (TQS. Al-A'raf: 96)
Allahu
a'lam bi ash-shawab
Post a Comment